header ads

Mengenal Jenis Air, Penting Agar Sah Shalat Kita


nulebak.or.id - Selasa malam (15/01/2019 yang lalu, Pengurus Ranting NU Desa Lebak menyelenggarakan program rutin pengajian Lailatul Ijtima’ di Pon. Pes. Asshofa asuhan KH M. Sholichin dukuh Semangeng (Sidorejo). Acara itu diikuti oleh pengutus Ranting dan warga nahdliyyin sekitar. Untuk pertama kalinya dalam lailatul ijtima’, dibaca dua kitab, yakni Taqrib. Kitab  yang pertama  membahas kajian fiqih dan kitab yang kedua membahas tasauf. 

KH Abdul Hannan saat membacakan kitab Taqrib, menjelaskan bahwa, air yang bisa digunakan untuk berwudlu, mandi dan menghilangkan najis  ada tujuh : air hujan, air laut, air sungai, air dari mata air, air sumur, air salju dan air embun.  Ketujuh air itu diringkas menjadi dua, yaitu air yang turun dari langit dan yang keluar dari bumi.

“Bersuci (wudlu, mandi dan menghilangkan najis) dengan selain tujuh air itu hukumya tidah sah“ katanya.

Lebih lanjut kiai Hanan menambahkan bahwa air dibagi lagi menjadi empat : thahir muthahhir ghoiru makruh isti’maluh (suci dan mensucikan yang tidak makruh digunakan bersuci), thahir muthahhir makruh isti’maluhu (suci dan mensucikan yang makruh digunakan bersuci), thahir ghoiru muthahhir (suci tapi tidak mensucikan) dan air mutanajjis (air yang najis). Dari keempat jenis air di atas, hanya air thohir muthahir saja yang sah untuk bersuci.

Bersuci dengan air thahir ghoiru muthaahir dan mutanajjis tidak sah “ tegasnya.

Selanjutnya kiai Hanan menguraikan, air yang tidak bercampur  dengan benda yang suci dan benda najis dan belum digunakan untuk bersuci itulah air thahir muthahhir yang juga disebut air mutlak. Air ini bisa untuk wudlu, mandi dan menghilangkan najis. Air thahir muthahhir yang ditaruh di dalam wadah yang terbuat dari besi atau tembaga dan dipanaskan dengan sinar matahari di daerah yang panas hukumnya makruh untuk bersuci karena bisa menimbulkan penyakit.
Air yang telah dipakai bersuci (wudlu dan mandi) dinamakan air musta’mal yang tidak sah untuk bersuci.  Air yang bercampur dengan benda suci apabila tidak merubah sifat-sifatnya (bau, rasa dan warna) atau merubah tapi perubahannya sedikit masih termasuk air mutlak. Kalau perubahannya banyak, misalanya  segelas air dicampur kopi atau teh  sehingga warnanya menjadi hitam atau merah maka tidak bisa untuk bersuci. Memang hukumnya masih suci tapi tidak sah dipakai bersuci (thahir ghoiru muthahhir). Air ini hukumnya sama dengan air musta’mal, hanya bisa diminum atau untuk memasak.

Selanjutnya air yang terkena najis maka harus dilihat berapa jumlahnya. Kalau jumlahnya sedikit maka air itu hukumnya najis, baik sifat-sifat berubah atau tidak,  sehingga tidak bisa dikonsumsi apalagi untuk bersuci. Bila jumlahnya banyak maka ditafshil : jika tidak berubah warna, bau dan rasanya maka bisa dipakai bersuci ; jika berubah warna, bau atau rasanya maka hukumnya najis. Untuk itu penting sekali mengetahui jumlah air dianggap banyak atau sedikit. Dalam kitab-kitab fikih air dikategorikan banyak bila mencapai dua qullah (al-qullatain). Dalam menentukan berapa dua qullah ini, para ulama berbeda-benda pendapatnya  sebagai beikut :

  • ·   Dua qullah adalah 216 liter.  Wadah air berbentuk kubus panjang, lebar dan tingginya adalah 60 cm.
  • ·  Dua qullah adalah 192,599 liter. Dalam bentuk kubus panjang, lebar dan tingginya adalah 57,75 cm.
  • ·  Menurut imam Nawawi dan Rafi’i sebagaimana tertuang dalam kitab  Fathul  Qadir  air 177 liter  sudah mencapai dua qullah.

Perbedaan pendapat tersebut berasal dari ukuran dzira’. Dari beberapa pendapat tersebut nampaknya  yang lebih kuat adalah yang pertama. KH Sirojuddin Abbas dam Muhammad Rifa’i  dua penulis dari Indonesia memakai pendapat yang pertama.  Demikian halnya Habib Zain ibn Ibrohim ibn Zain ibn Sumaith dalam kitabnya  al-Taqrirot al-Sadidat  juz I  halaman 62  menegaskan air dua qullah dengan ukuran modern adalah sekitar 217 liter.

Masalah air yang dipakai bersuci harus benar-benar diperhatikan bagi setiap muslim. Sebab hal itu berkaitan langsung dengan keabsahan  wudlu dan mandi, yang pada akhirnya juga berdampak pada keabsahan shalat. (abihaekal mhz)