Sebagai muslim Indonesia, terlebih warga Nahdliyyin, alangkah baiknya
jika kita tidak ikut larut dalam perayaan hari valentine (yang sering disebut hari
kasih sayang). Perayaan tersebut dikhawatirkan akan menggerus keimanan dan
ketakwaan kita. Pasalnya, sejarah mengenai valentine, menyebutkan bahwa valentine
berasal dari sebuah festival. Ada beberapa versi legenda yang menyatakan berita
ini. Namun sampai saat ini masih belum tahu cerita mana yang memang benar
menghasilkan acara valentine. Salah satunya adalah Festival Lupercalia, sudah
menjadi tradisi bangsa Romawi kuno yang tidak terlepas dengan hal-hal yang
berbau seks. Kebenaran ini pernah ditulis oleh J.A North dalam The Journal of
Romance to this volume 98 2008. (sumber detik news.com)
Selain itu Lupercalia merupakan tradisi nenek moyang Romawi kuno yang
tidak bermoral dan tidak melambangkan kehangatan atau kasih sayang sama sekali.
Meskipun, konon pada sebuah waktu tertentu tradisi ini diubah menjadi lebih
baik. Festival Lipercalia yang sering kali dilakukan kala itu, dianggap sebagai
salah satu tradisi untuk menghormati Dewa kesuburan pada zaman pra Romawi. Oleh
karenanya, sekali lagi, alangakah sebaiknya kita tidak mengikuti dan
melestarikan budaya non Islam sebagaimana yang dilakukan orang-orang terdahulu
itu. Naudzubillah..
Sebanarnya ada yang lebih penting daripada kita mengiikuti dan
merayakan hal yang tak jelas dengan sebutan valentine itu, ialah peringatan
hari lahir sangmaha guru, tokoh sentral dan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama
(NU). Ya, Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari yang dilahirkan di Kabupaten
Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871. Tanggal tersebut bertepatan dengan
Selasa Kliwon, 24 Dzul Qo’dah 1287 H.
Mbah Hayim Asy’ari yang memeiliki gelar Hadratusy Syekh ialah orang
yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau mengajak
para santrinya untuk berjuang melawan penjajah. Bahkan beliau mempelopori dan
menyuarakan bahwa berjuang melawan penjajah hukumnya fardlu ‘ain, wajib bagi
setiap orang muslim Indonesia.
Dilansir dari nu.or.id, bukti yang menunjukkan peran KH Hasyim Asy’ari
sangat krusial ialah ketika Bung Tomo dan bahkan Bung Karno meminta fatwa dari
beliau tentang hukum melawan penjajah. Dari situlah lahir “Resolusi Jihad” yang
kemudian membuahkan perjuangan para pemuda pada tanggal 10 November di Surabaya
melawan Belanda.
Namun, meski KH Hasyim Asy’ari adalah ulama kharismatik yang kedalaman
ilmunya tidak diragukan, tetapi beliau tetap tidak lantas bersikap gagah dan
tinggi hati. Justru karena kedalaman ilmu beliau lah yang menjadikannya sosok
pengayom masyarakat yang welas-asih dan toleran.
Mbah Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara dengan
sosok ayah bernama Kiai Asy’ari, pengasuh Pesantren Keras di Jombang sebelah
Selatan. Beliau memiliki garis keturunan dengan Sultan Pajang (Jaka
Tingkir/Adipati Adiwijaya) dan masih terkait dengan Raja Majapahit, Raja
Brawijaya V.
Mbah Hasyim yang juga Rois Akbar NU itu, mempunyai sanad keilmuan yang
panjang. Tetapi dasar-dasar pelajaran agama Islam beliau peroleh dari bimbingan
sang kakek, yakni Kiai Usman yang juga seorang pimpinan Pesantren Nggedang di
Jombang. Sewaktu menginjak usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari muda berkelana menimba
ilmu dari berbagai tokoh dan pesantren. Beberapa di antaranya yang tercatat;
Pesantren Siwalan di Sidoarjo, Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren
Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang dan Pesantren Kademangan di
bawah pengajaran Syaikhona Kholil (Bangkalan) bersama KH Ahmad Dahlan muda.
Jadi, sekali lagi - dengan tegas -
sudah seharusnya kita warga nahdliyin dan muslimin Indonesia mengingat hari
lahir KH. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan kemerdekaan pada 14 Februari ini,
dari pada kita memperingati hari valentine yang tidak jelas itu.
Selamat Ulang Tahun Kiai...
Selamat Ulang Tahun Hadratusy Syekh...
Selamat Ulang Tahun Guru kami...
Diolah dari
berbagia sumber oleh :
Azaz
Riyadi, Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Desa Lebak, Pakis Aji Jepara